About

Sabtu, 03 Desember 2011

aku punya cerpen nih buat teman-teman yang lagi bingung mau nulis cerpen atau susah buat cerpen :D ;d




"Dermaga penantian"

Angin sepoi bertiup menerpa tubuhku yang lagi duduk menatap jauh ke laut lepas yang mengirimkan buih-nuih ombak ke kakiku. Riuh ombak membuat kesendirianku di pantai ini serasa di tengah keramaian. Suasana seperti ini membuat aku teringat kepada Anisa, istriku.
Aku sangat beruntung memiliki istri yang mengerti tentang keadaanku. Dia tidak banya menuntut harta, baginya bisa hidup bersama sudah merupakan kebahagiaan yang begitu indah, karena bukanlah ukuran kebahagiaan dengan harta melainkan dengan ketenangan hati, begitulah yang pernah dikatakannya dulu.
Senyumnya yang manis membuat aku tidak pernah bosan memandangnya, sikap lembutnya membuat aku rindu dan ingin selalu dekat dengannya. Tapi aku harus menahan dulu keinginan itu, karena dia berada jauh di seberang sana, menjadi tenaga kerja Malaysia semenjak tiga tahun yang lalu.
Matahari mulai tenggelam dan akan digantikan oleh bulan yang membawa kesejukan buat istirahat, suasana gelap membangunkan aku dari khayalan, aku harus secepatnya pulang ke rumah karena anak-anak sudah menungguku. Anak-anak yang sangat aku sayangi sebagai buah cinta aku dan anisa.
Malampun tiba menyelimuti kampung. Anak-anak sedang asyik membaca buku pelajaran sekolah, tanpa aku duga sebelumnya Aziz si bungsu menanyakan keadaan ibunya kepadaku. Pertanyaan yang sangat jarang terdengar sebelumnya. Sebagai  ayah yang baik tentunya aku tidak boleh berdusta kepadanya. Setelah ku jelaskan Aziz pun tersenyum, begitu pula dengan Nazwa, kakaknya.
“ Sudah jam 9, sebaiknya kalian masuk kamar dan tidur !” pintaku kepada mereka.

“ Iya, yah” jawab Aziz.
“ Tapi ayah juga harus tidur!” pinta Nazwa melanjutkan.
“ Iya tentu sayang” sahutku.
Malam makin larut, aku tak bisa tidur. Kulangkahkan kakiku ke teras depan rumah, lalu aku duduk di sebuah kursi sambil menikmati angin malam dengan sacangkir kopi. Terbayang olehku keadaan sosok ibu mereka, dan aku yakin Anisa juga rindu dengan mereka.
Sebenarnya aku sudah berusaha menyuruh anisa pulang karena kasihan dengan anak-anak lewat sepucuk surat yang aku kirimkan, tetapi sampai sekarang dia belum juga pulang bahkan suratku itupun tidak pernah dibalasnya. Sempat timbul kekhawatiran di hatiku tentang keadaannya disana.
Surat terakhir Anisa masih tersimpan rapi di lemari. Surat itu dikirim sepuluh bulan yang lalu, dalam surat itu dia menceritakan keadaannya yang baik selama bekerja di sana, karena dia bekerja dengan majikan yang baik. tapi itu dulu. Sekarang aku tidak tahu lagi keadaannya karena memang tak ada kabar yang pasti tentangnya.
***
Dari dermaga kupandangi laut sampai habis batas kemampuan mata jarak yang jauh diseberang sana, sebagai sebuah isyarat memanggil istriku untuk kembali. Aku bingung dengan keadaan ini, aku ingin tahu keadaannya, tapi kemana aku harus bertanya.
Hari-hari kulalui dengan sebuah penantian, ketika aku mendapat kabar kapal besar akan bersandar di dermaga yang mengangkut para tenaga kerja dari Malaysia akan tiba, akupun langsung pergi ke dermaga membawa sepenuh harapan untuk bisa bertemu Anisa.
Ratusan tenaga kerja berebut turun, dari tadi ku amati tidak ada sosok istriku dalam kerumunan, kulihat para keluarga tenaga kerja yang lain sedah saling melepas rindu sambil berpelukan. Tapi dimanakah istriku ? sebuah pertanyaan yang akupun tidak tahu jawabannya.
“ Arif !” teriak seorang wanita memanggilku. Ooh, ternyata itu Yanti teman istriku ketika sama-sama berangkat ke Malaysia.
“ Yan, dimana istriku?” tanyaku.
“ Terakhir kali aku bertemu dengannya sekitar 5 bulan yang lalu, dan dia menyerahkan ini kepadaku buat kamu.” Kata yanti sambil menyrahkan sesuatu yang terbungkus kerudung biru milik anisa.” Begitukah, tapi dia baik-baik saja kan Yan?” tanyaku lagi.” Waktu itu keadaannya baik, tapi aku tidak tahu lagi sekarang, karena sudah lama aku tidak bertemu lagi dengannya.” Sahut Yanti.
Mengetahui anisa tidak pulang membuat hatiku kembali sedih, bahkan aku tidak tahu berapa lama kerinduan ini harus ku pendam, rasanya aku ingin terbang saja untuk menemuinya, tapi aku bukan burung memiliki sayap untuk terbang, biarlah rindu ini aku pendam lagi.
Ku langkahkan kakiku menuju rumah sambil membawa titipan dari Anisa. Ketika sampai di rumah, ku buka titipan itu, ternyata berisi uang yang lumayan banyak dan sepucuk surat dari Anisa.
Buat suamiku tercinta :
Alhamdulillah, karena kuasa-Nya aku masih bisa menulis sebuah surat yang aku sendiri tidak tahu apakah ini surat terakhir yang bisa ku kirimkan.
Disini aku selalu berdoa agar kang Arif dan anak-anak selalu sehat, dan dipanjangkan umur agar kita dapat bertemu dan berkumpul lagi seperti dulu, karena tidak ada yang lebih indah setelah perpisahan, kecuali pertemuan.
Setelah membaca sepenggal surat darinya aku merasa bersalah.
” Perlu kang Arif ketahui saat ku tulis surat ini aku sedang mengalami tekanan besar dari majikanku, ketika surat ini berada di tangan kang arif, mungkin sesuatu telah terjadi denganku. Karena itu perbanyaklah berdoa agar aku selalu dalam lindungan allah.
Rasa bersalah menyelimuti perasaanku, kenapa dulu aku mengizinkannya pergi, apalah artinya uang banyak dibandingkan harus berpisah dengannya. Bagiku berapapun banyaknya uang tidak sebanding dengan indahnya hidup bersama dengannya.
Sekarang hanya doa yang bisa aku  panjatkan, berapapun waktu yang harus kuhabiskan disisa umurku, ku pastikan hanya berisi sebuah penantian akan kedatangan istriku, setiap hari kupandangi luasnya lautan dari sebuah dermaga untuk menunggu kedatangannya yang entah kapan akan datang? :( :( hikzzzzz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar