BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Cerai merupakan terputusnya keluarga karena
salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga
mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.
Perceraian
dalam suatu perkawinan,sebenarnya merupakan jalan terakhir setelah diupayakan
perdamaian.Thalaq memang dibenarkan dalam islam tetapi perbuatan itu sangat
dibenci oleh Allah .
Bila terjadi
perceraian dalam rumah tangga ,maka ada kesan seolah-olah perkawinan suami
istri tidak dilandasi suka saling suka dan saling cinta.Tidak sedikit kita
lihat orang-orang melarikan diri dari orangtuanya ,kemudian tahkim .Mereka
ingin sehidup semati meski tanpa restu
orangtua. Tetapi anehnya,setelah perkawinan demikian kemungkinan cerai masih
saja terjadi.
Pada uraian
terdahulu,mengenai kesaksian dalam akad nikah amat diperlukan, walaupun ada
sedikit ulama yang memandang tidak perlu.
Adalah wajar
, bila pada saat akad nikah disaksikan ijab qabulnya,namun bagaimana dengan
permasalahan saksi dalam thalaq? Berkenaan dengan masalah ini,maka para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
saksi di dalam thalaq.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.
Apakah
definisi Perceraian atau Talak?
2.
Bagaimana Kedudukan Hukum Talak dalam Islam?
3.
Apa saja Rukun dan Syarat Talak?
4.
Apakah Pengertian Saksi?
5.
Bagaimana
Pendapat Ulama tentang Kesaksian dalam Talak?
C. Tujuan
Penulisan
Dari rumusan
masalah di atas. Maka tujuan disusunnya makalah ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui Arti Perceraian atau Talak
2.
Untuk
mengetahui Kedudukan Hukum Talak dalam
Islam
3.
Untuk
mengetahui Rukun dan Syarat Talak
4.
Untuk
mengetahui Pengertian Saksi
5.
Untuk
mengetahui Pendapat Ulama tentang Kesaksian dalam Talak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti
Perceraian atau Talak
Talak berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”.
Sedangkan menurut Istilah Agama yaitu “melepaskan tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami isteri/perkawinan.
Al-Jaziri mendefinisikan : Talak ialah menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan
kata-kata tertentu.
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari : Talak yaitu melepas tali
akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
Sementara
Abdurr Rahman al-Jaziri mengatakan bahwa talak adalah usaha menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz
khusus.[1][1]
Jadi, talak ialah suatu perbuatan suami yang melepas
ikatan perkawinan dengan isteri dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Islam memberikan
hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia yang lebih bersikeras untuk melanggengkan
tali perkawinannya yang dibiayainya dengan harta begitu besar, sehingga kalu
dia mau cerai atau kawin lagi ia perlu membiayanyinya lagi dalam jumlah yang
sama atau lebih banyak lagi.[2][2]
Perempuan
yang dicerai wajib
dilunasi sisa maharnya yang belum dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa iddahnya.
dilunasi sisa maharnya yang belum dibayarkannya, diberi uang hadiah talak dan diberi uang belanja selama masa iddahnya.
B. Kedudukan
Hukum Talak dalam Islam
3
|
Dalam
suatu pernikahan tentu saja tidak selamanya berada dalam situasi yang damai dan
tentram, tetapi kadang-kadang juga terjadi salah paham antara suami dan istri
atau salah satu pihak melalaikan kewajibannya, kurang adanya kepercayaan pada
pasangan dan penyebab terjadinya perpecahan lainnya.
Dalam
keadaan seperti ini kadang bisa diatasi sehingga kedua belah pihak kembali
membaik, tapi tidak sedikit juga yang terus-menerus dalam kesalah fahaman dan
berlarut-larut sehingga terjadilah pertengkaran. Apabila suatu pernikahan yang
demikian itu dilanjutkan, maka pembentukan rumah tangga yang damai dan tentram
seperti yang disyariatkan oleh agama tidak tercapai. Dan ditakutkan pula
perpecahan ini akan mengakibatkan perpecahan antara keluarga belah pihak. Maka
dari itu untuk menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas maka agama
Islam mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar terakhir bagi suami-istri
yang sudah gagal dalam membina rumah tangganya.[3][3]
Namun
sebelum perceraian terjadi, Islam memberikan alternatif lain, yaitu
selayaknyalah seorang suami bersabar bila ia tidak senang melihat kelakuan, QS.
An-Nisa’:19
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Artinya:
”jika
kamu membenci mereka (istrimu), (maka hendaklah kamu bersabar dan jangan segera
menjatuhkan thalak), karena boleh jadi kamu membenci sesuatu, sedangkan Allah
menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya”. (an-Nisa’: 19)
Selain itu,
Islam juga menganjurkan untuk member nasihat kepada istrinya atau bersikap
nusyuz, QS. An-Nisa’: 34
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya:”Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (an-Nisa’: 34)
Dan
jika terjadi pertengkaran dan perselisihan hebat antara kedua suami-istri, maka
Islam menganjurkan supaya diadakan dua orang hakam (pendamai) antara keduanya,
seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri. Kedua pihak
(utusan) tersebut berupaya untuk mendamaikan kedua suami-istri tersebut, jika
tidak bias juga maka waktu itulah perceraian menjadi alternatif terakhir.
Disinilah
kita tahu bahwa kedudukan perceraian atau thalak dalam Islam adalah sesuatu
yang diperbolehkan, tapi juga tidak disukai (dibenci)[4][4], sebagaimana
dalam sabda Rasulullah:
Artinya:”Dari
Ibnu Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “sesuatu yang halal namun
paling dibenci disisi Allah adalah thalak”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah) serta
dinilai shahih oleh al-Hakim dan Abu Hatam mengunggulkan mursalnya”.[5][5]
Jika
yang menuntut cerai adalah seorang istri, sedangkan gugatan cerai tersebut
tanpa sebab, maka kelak dia tidak akan dapat mencium wangi syurga
C. Rukun dan Syarat Talak
1.
Suami
a)
Suami harus berakal
b)
Baligh
c)
Atas kemauannya sendiri, tanpa dipaksa orang
lain
d)
Kedudukan suami yang mentalak itu harus
berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
2.
Isteri
a)
Isteri itu tetap berada dalam perlindungan
suami.
b)
Kedudukan isteri yang ditalak itu harus
berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
3.
Sighat talak
Ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap
isterinya yang menunjukkan talak, baik itu secara jelas maupun sindiran, baik
berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi tuna wicara ataupun dengan suruhan
orang lain
4. Qashdu (sengaja)
Artinya bahwa yang diucapkannya itu memang bermaksud
untuk mentalak isteri, bukan untuk maksud lain
5. Saksi
Kebanyakan
fuqaha berpendapat bahwa talak itu dapat terjadi tanpa persaksian, yakni dipandang
sah oleh hokum Islam suami menjatuhkan talak terhadap isterinya tanpa kehadiran
dan kesaksian dua orang saksi, karena talak itu hak suami sehingga suami berhak
sewaktu-waktu menggunakan haknya itu tanpa menghadirkan dua orang saksi, dan
sahnya talak itu tanpa tergantung kepada ada atau tidaknya saksi.
Namun, di
Indonesia harus melalui pengadilan agama yang disitu jatuh atau tidaknya talak
tergantung kepada hakim yang memutuskan. Telah diputuskan pada bab Putusnya
Perkawinan pada Bagian kesatu didalam pasal 115 yang berbunyi :
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
D. Pengertian
Saksi
Dalam
peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang
pengertian saksi yaitu:
“Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang
suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.
Berkenaan dengan masalah ini,maka
para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum saksi di dalam thalaq.
Sebelum membicarakan mengenai
pendapat para ulama tentang permasalahan saksi dalam thalaq,terlebih dahulu
kita lihat syarat-syarat yang berlaku bagi orang yang menalaq,sebagai berikut :[6][6]
1.Baligh
Para ulama mazhab sepakat bahwa
thalaq yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah,kecuali mazhab Hambali
yang menyatakan bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil yang sudah mengerti
dinyatakan sah.
2. Berakal sehat
Dengan demikian thalaq tidak berlaku
atas orang yang hilang akalnya (dalam keadaan tidak sadar ). Namun di sini para
ulama berbeda pendapat mengenai thalaq yang diucapkan oleh orang yang
mabuk,yaitu :
a.
Imam mazhab
yang empat berpendapat bahwa thalaq yang diucapkan orang mabuk itu sah apabila
dia mabuk karena minuman yang diharamkan dan atas dasar keinginan sendiri,namun
jika ia terpaksa maka thalaqnya dianggap tidak jatuh.
b. sementara
para ulama Syi’ah Imamiyah mengatakan bahwa thalaq tersebut sama sekali tidak
sah.
3. Atas kehendak sendiri
Dengan demikian ,thalaq yang dijatuhkan karena
ia dipaksa menurut kesepakatan ulama mazhab hal itu tidak sah,
terkecuali mazhab imam Hanafi yang menyatakan bahwa hal sedemikian rupa dianggap
sah.
4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan thalaq
Hal ini menurut pendapat mazhab
Syi’ah Imamiyah thalaq dinyatakan tidak jatuh karena sebab lupa,keliru atau
main-main.
Sementara imam Hanafi berpendapat
bahwa thalaq semua orang dinyatakan sah kecuali anak kecil,orang
gila,dan orang yang kurang akalnya.
Sementara mazhab imam Syafi’i dan
Hambali sependapat dengan imam abu hanifah bahwa thalaq dalam perkara ini
dinyatakan sah,tetapi tidak dengan imam hambali , beliau menyatakan
dalam kasus seperti ini thalaq dinyatakan tidak sah.
E. Pendapat Ulama tentang Kesaksian dalam Talak
1) Pendapat
Jumhur Fuqaha
Menurut jumhur ulama, baik salaf
maupun khalaf (tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah tanpa
ada saksi. Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash
yang menetapkan adanya saksi dalam talak. Allah SWT sendiri telah memberikan
hak talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita (istri),
sebagaimana firmannya. Al-Ahzab : 49.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Al-Ahzab: 49)
Selain surat Al-Ahzab tersebut ada
pula surat Al-Baqarah ayat 231 yang menyatakan tidah perlu adanya saksi di
dalam thalaq sebagai berikut:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎh| 7$rã÷èoÿÏ3 4 wur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 wur (#ÿräÏFs? ÏM»t#uä «!$# #Yrâèd 4 (#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr& Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏèt ¾ÏmÎ/ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br& ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta
Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(Al-Baqarah: 231)
Dengan
demikian, talak itu merupakan hak bagi yang menikahi (suami) dan juga mempunyai
hak untuk mempertahankannya, yaitu melalui proses rujuk. Demikian dikatakan
oleh ibnu qayyim.[7][7]
2) Pendapat
Imam Mazhab Yang empat
Mazhab yang empat tidak
mengisyaratkan akan adanya saksi didalam talak, adapun keempat mazhab tersebut
adalah mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi,berdasarkan sebagaimana
landasan yang dipergunakan oleh para ulama jumhur dalam menetapkan hal ini.
Namun demikian menurut Imam Syafi’i dan
Hanifah sebagaimana M. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa
persaksian terhadap talak ini, “Memahaminya
dalam perintah sunnah”. Dan dari riwayat yang lain yang dinisbahkan kepada
Imam Syafi’i, Ahmad, dan Malik bahwa,“Perintah
itu sebagai perintah wajib untuk rujuk dan bukan untuk perceraian”.[8][8]
3)
Pendapat Ulama Syi’ah Imamiyah
Para ulama mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Ismailiyyah mengatakan bahwa, talak
tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang saksi laki-laki yang adil.
Hal tersebut berdasarkan surat Al-Quran surat At-Thalaq : 2 ayat yang berbunyi:
#sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkôr&ur ôurs 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 öNà6Ï9ºs àátãqã ¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC ÇËÈ
Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan
itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (
QS.At-Thalak: 2).
Perintah
untuk membuat kesaksian ini,dikemukakan sesudah pembicaraan tentang thalaq dan
kebolehan rujuk.Maka yang tepat adalah bahwa persaksian itu dimaksudkan bagi
thalaq.Disebutnya persaksian sebagai alasan dapat memberi nasihat bagi prang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk memperkuat hal di atas.Dengan
demikian untuk jatuhnya thalaq disyaratkan adanya dua orang saksi yang adil.
Sehingga
dengan adanya dua orang saksi yang adil di dalam talak akan mempersulit untuk
melaksanakan talak itu sendiri sehingga dengan demikian memungkinkan pasangan
suami istri untuk mengurungkan niat mereka untuk melaksanakan proses bercerai.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Makinudin di dalam ringkasan disertasi-nya
bahwa, “kedatangan para saksi yang adil
tidak akan sunyi dari nasihat yang baik, yang dapat mencegah suami istri
melakukan talak sehingga keduanya mendapat jalan keluar dari terjadinya talak,
yang merupakan suatu perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah.
BAB III
ANALISIS
Mazhab yang empat tidak
mengisyaratkan akan adanya saksi didalam talak, adapun keempat mazhab tersebut adalah
mazhab Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Namun demikian mazhab Imamiah
berpendapat bahwa harus ada saksi didalam talak, dan saksi merupakan rukun dari
pada talak.Para ulama mazhab Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Ismailiyyah
mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang
saksi laki-laki yang adil.
Sehingga dengan adanya dua orang
saksi yang adil di dalam talak akan mempersulit untuk melaksanakan talak itu
sendiri sehingga dengan demikian memungkinkan pasangan suami istri untuk
mengurungkan niat mereka untuk melaksanakan proses bercerai.
Sedangkan menurut jumhur ulama, baik
salaf maupun khalaf (tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah
tanpa ada saksi. Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak
ada nash yang menetapkan adanya saksi dalam talak. Allah SWT sendiri telah
memberikan hak talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita
(istri).
Namun demikian menurut Imam Syafi’I
dan Hanifah sebagaimana M. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa
persaksian terhadap talak ini, “Memahaminya
dalam perintah sunnah”. Dan dari riwayat yang lain yang dinisbahkan kepada
Imam Syafi’I, Ahmad, dan Malik bahwa,“Perintah
itu sebagai perintah wajib untuk rujuk dan bukan untuk perceraian”.[9][9]
Demikianlah
makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari
kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu semata-mata keterbatasan
kami, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan dari dosen pembimbing
dan kawan-kawan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Al-B
assam.2006.Syarah Bulughul Maram.
Jakarta: Pustaka Azzam
Abidin, Slamet.2007.Fiqih Sunnah fiqih munakahat.Bandung : Pustaka Setia
Al-Jaziri ,Abdur Rahman.1969. Kitabu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah.Mesir:
al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra
Mughniyah
,Muhammad jawad.2007.Fiqih Lima
Mazhab. Jakarta:lentera
Shihab ,M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Soemiyati.2004. Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-Undang Perkawinan Yogyakarta: Liberty
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,
Al-Jami’ Fii Fiqhi An-Nisa’, penerjemah: M. Abdul Goffar E.M, (Beirut-Lebanon:
Darul Kutub Al-Ilmiyah)
Yunus ,Mahmud.1989.Hukum
Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i Hanafi Maliki Hanbali .Jakarta:
P.T. Hidakarya Agung
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.karena atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Salawat dan
Salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi Sebagai suri tauladan
dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis
menyadari segala kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki
dalam penyelesaian makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini sehingga
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhirnya
kepada Allah SWT. Kami serahkan segalanya, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin!
, April 2015
Penulis
[10][1] Abdur Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mesir:
al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz IV, hlm. 278.
[12][3] Ny. Soemiyati, S.H, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2004),
104
[13][4] Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Hukum
Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i Hanafi Maliki Hanbali (Jakarta:
P.T. Hidakarya Agung, 1989), 112
[14][5] Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam,
Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 557.
[16][7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,
Al-Jami’ Fii Fiqhi An-Nisa’, penerjemah: M. Abdul Goffar E.M, (Beirut-Lebanon:
Darul Kutub Al-Ilmiyah), hal. 447.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar